Cerpen - Sungai dan Emas
SUNGAI & EMAS
Berisik,
memekakkan telinga. Suara itu berasal dari lokasi tambang yang tak jauh dari
rumahnya, kira-kira 100 meter. Deru-deru mesin dari pertambangan emas yang
sebagian milik ayahnya itu meraung-raung
tanpa komando. Kadang terdengar seperti suara di arena motor cross yang sudah
pasti membuat telinga tidak nyaman.
Bagi
Aldi keadaan tersebut sudah sangat biasa. Setiap sore ia akan berkunjung kesana
untuk “mandulang ameh” di tambang tersebut, terkadang beberapa temannya
juga ikut bersamanya dengan alasan tentu saja juga mencari emas disana. Emas
yang mereka dapat bisa mereka jual. Uangnya tentu mereka pergunakan untuk
membeli kebutuhan mereka tanpa perlu menyusahkan orang tua masing-masing.
Aldi
sesungguhnya bukanlah anak yang mempunyai orang tua tak mampu. Bahkan ia
berasal dari keluarga yang berkecukupan di desa tempat tinggalnya. Namun ia
ditugaskan oleh ayahnya untuk ke tambang karena ayahnya mendapat jatah untuk
mengambil seember tanah yang langsung dari lubang galian tambang itu yang berkemungkinan
besar didalamnya terdapat emas.
Berbeda dengan
teman-temannya yang lain, mereka hanya mendapat emas dengan berebutan
memasukkan “jae” mereka diantara jae-jae orang dewasa lainnya yang ikut
dalam acara “manampuang” setiap sore dari sabtu sampai hari kamis. Jae
adalah sebuah alat terbuat dari papan yang di bentuk menyerupai kuali tanpa
telinga yang digunakan untuk mencari emas. Caranya dengan memasukkan tanah yang
berasal dari tambang ataupun yang telah di tampung tadi, kemudian di gerakkan
memutar sehingga tanah keluar dan yang tinggal hanyalah sesuatu berwarna hitam
yang orang kampung aldi menamainya kalam. Gerakan memutar jae itulah yang biasa
di sebut mandulang. Dan disitulah biasanya terdapat emas murni 24 karat yang
membuat sebagian orang tegila-gila untuk mendapatkannya.
Sedangkan acara
manampuang, yang sebenarnya tak layak disebut acara itu adalah kegiatan rutin
yang dilaksanakan oleh sebagian masyarakat kampung Aldi untuk membantu ekonomi
keluarga mereka karena sebagian besar yang melaksanakan adalah para ibu-ibu,
anak-anak dan remaja. Manampuang dilakukan dengan cara berdiri mengelilingi
pekerja tambang yang akan mendulang emasnya. Serpihan tanah
yang berasal dari galian itu akan jatuh pada jae-jae yang sudah menunggu di
bawahnya dengan susunan yang apik.
*******
Hari kamis malam, hari
yang ditunggu-tunggu Aldi dan teman-temannya. Pada hari itu mereka akan menjual
jerih payah mereka dari hari sabtu. Tambang emas memang memiliki hari libur di
hari jum’at. Bagi mereka haram bekerja pada hari jum’at, dan mereka hari
menganggap hari jum’at adalah hari yang singkat.
“Dapat berapa Di?” Tanya
Beni
“150 ribu, kamu berapa?”
jawab Aldi
“Hmmm... Cuma 50 ribu,
kamu Dan” Beni balik bertanya kepada Hamdan
“Sedikit lebih banyak
dari kamu, 62 ribu”
“Berarti minggu ini aku
yang mendapat paling sedikit, biasanya kan kamu Dan”
“Tentulah kamu yang
paling sedikit, kamu kan minggu ini sering tidak pergi, memangnya kamu kemana?
Sibuk ngurusin si Meri itu ya?” jawab Hamdan sekenanya.
“Dasar kamu, memangnya
kamu rajin? Biasanya kamu kan yang paling pemalas kalau urusan pergi ke
tambang.” Beni kesal.
“Kamu tidak tahu ya,
minggu ini si Hamdan itu rajin sekali untuk pergi, bahkan lebih semangat, kamu
tahu kenapa dia begitu?” Aldi ikut menyahut.
“Oh ya, aku baru ingat,
kemarin di tambang aku melihat Sarah gadis yang membuat Hamdan tergila-gila itu
ya” Tukas Beni dengan gembira karena berhasil membalas Hamdan.
Aldi memang selalu lebih
banyak dari kedua sahabat setianya, sudah pasti karena ia langsung mendapat
jatah dari dalam tambang secara utuh tanpa perlu berebutan dengan yang lainnya.
*******
Hujan
turun dengan lebatnya sore itu, mengguyur apa saja tanpa terkecuali. Itu
menyebabkan kegiatan tambang dihentikan, tidak lain tidak bukan di sebabkan
karena hujan yang turun terus-menerus mengakibatkan air sungai bertambah dan
menutupi lubang galian tambang yang terdapat di sepanjang tepian sungai itu.
Aldi
dan teman-temannya pun libur ke tambang untuk beberapa hari ini. Karena tidak
ada kegiatan, mereka memutuskan untuk berkumpul di rumah Aldi. Disana memang
sudah terdapat tempat yang biasa mereka gunakan untuk membuat pr bersama, tugas
kelompok bahkan terkadang hanya sekedar mengobrol ditemani secangkir teh atau
kopi.
“Hujan
kali ini sangat lebat ya, lama pula” Hamdan membuka pembicaraan.
“Benar,
biasanya hanya tiga hari atau paling lama satu minggu, tapi kali ini sudah
hamper satu minggu, bagaimana ya dengan nasib perekonomian keluarga penambang?”
Aldi membenarkan.
“Dasar
kamu Di, sok mikir, emangnya kamu tidak tahu ya di kampung kita tidak semua
orang di keluarganya yang menjadi penambang kan? Sebagian masih ada yang
memiliki kebun karet” Beni menyanggah.
“Sok
tahu kamu Ben, memangnya orang bisa manen karet kalau musim hujan?”
“Iya
ya, kok aku tidak kepikiran ya?”
“Makanya
kalu mau bicara sebelum buka mulut pikir dulu, baru di keluarkan”
“Iya,
lain kali aku tidak akan mengulangnya lagi”
“Aldi,
Beni, sudah deh masalah kebun karetnya, lebih baik kita membahas masalah yang
lain!”
“Memangnya
ada masalah lain apa Dan?”
“Kalau
mau tahu, besok kalau hari tidak hujan atau sehabis hujan kalian akut aku ke
sungai”
“Memangnya
ada apa di sungai, apakah buaya besar mengamuk?”
“Kalian
lihat besok saja ya teman-teman, sekarang hari sudah sore, aku harus menjemput
kerbau ku dulu, kamu tidak menjemput sapi-sapimu Ben?”
“Iya
Hamdan, yuk pulang bareng, pulang dulu ya Aldi, sampai bertemu besok”
“Oke,
see you tomorrow my friends” Gaya aldi yang sok ke bule-bulean membuat kedua
temannya tertawa.
*******
Malam
harinya Aldi masih belum bisa tidur, penyebabnya dia memikirkan kira-kira
gerangan apa yang akan di tunjukkan Hamdan kepadanya dan Beni. Dia mencoba
menebak-nebak, namun sudah beberapa kali dia menebak, sudah sebanyak itu pula
dia tidak yakin akan tebakannya sendiri.
Ia
heran melihat Hamdan, dia selalu saja ada kejutan buat teman-temannya. Misalnya
saja saat Beni berulangtahun, Hamdan menyuruh dirinya membeli lilin, tepung dan
zat pewarna makanan. Dalam benaknya Aldi mengira Hamdan akan membuat kejutan
berupa kue ulang tahun. Ternyata Hamdan membuat miniatur sapi dari bahan
tersebut. Aldi tidak habis pikir.
Lelah
berpikir, Aldi terlelap dengan sendirinya.
*******
Esok harinya
di jam yang telah mereka sepakati, mereka sudah berkumpul di depan rumah Aldi.
Mereka sudah tidak sabar dengan kejutan apa yang akan diberikan Hamdan kali
ini.
“Ayo cepat
Dan, aku sudah penasaran nih”
“Iya Dan,
tunggu apa lagi, ya kan Di?”
“Kalau begitu, ayolah kita mulai”
Perjalanan
merekapun di mulai, mereka berjalan menyusuri jalan setapak dan pematang sawah
untuk sampai kesungai, lima menit perjalanan mereka. Setibanya di tepian
sungai, Hamdan berdiri tegak memandangi sungai. Beni heran melihat Hamdan,
namun Aldi sepertinya dapat membaca pikiran Hamdan.
Ia
tahu, pasti sahabatnya itu sedang memperhatikan sungai yang bisa disebut sudah
tidak memiliki seninya untuk disebut sebuah sungai. Tempat itu lebih layak
disebut sebuah tempat yang baru saja ditimpa bencana besar, seperti di situ
gintung. Hujan lebat kemarin yang memang menjadi penyebab kerusakan seperti
itu.
Hujan
bukanlah penyebab utamanya. Namun, penggalian tambanglah yang menyebabkan semua
ini terjadi. Penggalian yang tanpa memikirkan apa akibat yang akan
ditimbulkannya. Penggalian bukan hanya di sepanjang tepian sungai, sawah-sawah
di tepian sungai juga ikut menjadi korban pelampiasan hawa nafsu manusia akan
kekayaan alam.
“Kau
lihat itu Aldi?” pembicaraan Hamdan mengejutkan Aldi yang sedang melamun.
“Ya,
aku melihatnya, sekarang aku baru sadar, tambang tidak hanya mendapatkan
kekayaan alam yang sangat berharga, tambang ternyata lebih banyak menyisakan
kerusakan”
“Coba
kamu bayangkan seandainya semua wilayah ini dijadikan tambang. Sawah-sawah
habis digali. Lalu apa yang dapat kita lakukan? Kamu tahu kan kalau semua sawah
yang sudah digali iini tidak bisa digunakan lagi. Kalaupun di timbun, wilayah
ini tidak akan produktif lagi bukan?”
“Kamu
benar Dan, saat sudah besar nanti, tentu kita tidak akan memiliki sawah lagi
untuk di olah, makan apa anak cucu kita Dan?”
“Itulah
masalahnya Di, manusia memang tak pernah puas. Padahal kebun sawit dan karet
yang mereka miliki sudah lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga mereka.”
“Sudahlah,
kalau kita membicarakan mereka-mereka itu, bukankah diantara mereka-mereka itu
juga termasuk orang tua kita, ngomong-ngomong si Beni kenapa tuh melamun.
Kelihatannya serius sekali”
“Iya,
biar aku yang ketempat si Beni” Hamdan berlalu menuju ke tempat Beni.
Beni
sedari tadi berdiri jauh dari Aldi dan Hamdan. Ia pergi ke tempat yang lebih
tinggi dari tempat berdirinya Aldi dan Hamdan. Dari tempat itu Beni bisa
melihat hampir seluruh wilayah lokasi tambang itu.
“Hai
kawan, sedang melamunkan apa? Serius sekali.”
“Eh
Hamdan mengagetkan aku saja, aku sedang berpikir apa jadinya sungai ini nanti.
Apakah ikan-ikan didalamnya tidak mati akibat limbah tambang yang maha kotor
itu?”
“Dari
tadi aku dan Aldi juga memikirkan hal yang serupa denganmu, kalau begitu kita
diskusikan masalah ini di tempat biasa yuk, sepertinya hujan akan turun lagi”
“Ayolah,
woooi Aldi… Ayo ke tempat kita biasa, cepaaat sebentar lagi turun
hujan” Beni meneriaki Aldi untuk segera pulang.
“Baiklah….”
Aldi berlari mengikuti Beni dan Hamdan.
*******
Dalam
diskusi, mereka sudah mendapatkan jalan keluar agar tambang tidak lagi
merjalalela. Usaha mereka dimulai dari berbicara kepada orang tua masing-masing
apa akibat yang ditimbulkan dari penambangan seperti ini. Usaha mereka tersebut
gagal total. Orang tua mereka tidak menghiraukan pembicaraan mereka. Orang tua
mereka hanya menyatakan tahu apalah seorang anak ingusan seperti mereka.
Tidak
puas dengan hasil yang mereka dapatkan. Mereka kembali berfikir keras untuk
mencari jalan. Apa yang akan dan harus mereka lakukan. Hamdan selalu saja ada
cara untuk menyelesaikan suatu masalah.
“Mmm…
orang tua kita tidak mau mendengarka pebicaraan kita karena menganggap kita
anak ingusan yang belum tau apa-apa. Bagaimana kalau yang menasehati mereka
orang yang mereka segani, ya seperti bapak kepala kampung kita.” Hamdan memberi
Ide.
“Maksud
kamu kita harus membujuk pak Karmin kepala kampung kita itu. Kamu yakin ini
akan berhasil, orang tua kita sendiri saja sudah susah untuk diberi pengertian.
Apalagi bapak kepala kampung itu?” Aldi pesimis terhadap pendapat Hamdan.
“Iya
Dan, kamu yakin?” Beni menambahkan.
“Kalian
ini bagaimana sih, kalah sebelum berperang. Kita semua tahu kan pak Karmin itu
orang yang ramah, bijaksana pula. Ayolah sahabatku, kita harus coba dulu.”
“Pendapatmu
masuk akal juga. Kalau begitu kami akan ikut saja denganmu. Benarkan Ben?”
“Oke…”
*******
Hari itu juga mereka
berangkat menuju rumah Bapak Karmin. Setelah dipersilahkan, mereka kemudian
menjelaskan maksud dan tujuan mereka. Setelah menyelesaikan pembicaraan mereka
sore itu. Mereka pamit pulang karena akan melaksanakan kegatan sore mereka, yaitu
menggiring hewan ternak mereka pulang ke kandang.
Mereka memang tidak
mendapatkan jawaban dari bapak Karmin hari itu. Bapak Karmin meminta anak-anak
untuk kembali esok hari. Karena beliau memutuskan untuk memikirkan permintaan
anak-anak itu. Tapi Aldi, Beni dan Hamdan yakin bahwa pembicaraan mereka akan
membuahkan hasil. Karena mereka tahu pak Karmin adalah orang yang bijaksana.
*******
Esok hari mereka
mendapatkan jawaban yang mereka inginkan. Selang beberapa hari bapak kepala
jorong mengumpulksn warganya untuk mensosialisasikan bahaya tambang bagi
kehidupan. Memang mereka idak langsung menerima, namun seiring berlalunya waktu
pada diskusi itu, mereka akhirnya mengerti juga.
Mereka menghasilkan sebuah
keputusan yang terbaik. Semua warga memang tidak lagi diperbolehkan menambang
emas dengan menggali apalagi dengan mesin-mesin yang bersuara tak karuan itu.
Jika mereka mau, mereka masih bisa mencari emas dengan cara tradisional
sepertidulu, dengan menyelam ke dasar sungai. Tanpa merusak lingkungan dan
polusi. Tentunya dengan tidak merusak kebudayaan tradisional. Dan mesin-mesin
yang ada sekarang bisa digunakan untuk menaikkan air sungai ke sawah. Karena
kincir yang biasa mereka gunakan juga sudah menjadi korban penggalian tambang.
*******
Beberapa bulan setelah
kegiatan tambang dihentikan. Masyarakat mulai merasakan manfaatnya. Terutama
pada polusi udara, udara menjadi lebih segar. Dan tentunya mereka tahu bahwa
sawah mereka yang kini mulai menguning akan tetap ada hingga hari esok.
Pada
perayaan tujuhbelasan, pak Karmin menyampaikan pidato tentang ucapan
terimakasihnya kepada seluruh masyarakat yang telah mendukung kebijakannya. Tak
lupa beliau memanggil anak-anak yang menurut beliau telah melaksanakan semua
ini. Beliau juga memberikan kepada salah satu dari mereka untuk menyampaikan
sambutan.
Hamdan
yang mewakili teman-temannya untuk memberikan sambutan tidak menyiaa-nyiakan
kesempatan itu. Dalam sambutannya dia menyampaikan bahwa dalam melakukan sesuatu seharusnya kita memikirkan apa dampak
yang akan di timbulkan. Dan di akhir sambutannya dia juga mengatakan seperti
ini :
“Kepada
seluruh masyarakat yang hadir saat ini, apa yang akan kalian pilih, SUNGAI atau
EMAS?” Hamdan bertanya dengan semangat.
Tanpa
pikir panjang seluruh warga yang hadir meneriakkan “SUNGAAAAI….”
***************************************************************
April - 2009
vaa