October 05, 2012

Cerpen - Sungai dan Emas



SUNGAI & EMAS
       Berisik, memekakkan telinga. Suara itu berasal dari lokasi tambang yang tak jauh dari rumahnya, kira-kira 100 meter. Deru-deru mesin dari pertambangan emas yang sebagian milik ayahnya itu  meraung-raung tanpa komando. Kadang terdengar seperti suara di arena motor cross yang sudah pasti membuat telinga tidak nyaman.
       Bagi Aldi keadaan tersebut sudah sangat biasa. Setiap sore ia akan berkunjung kesana untuk “mandulang ameh” di tambang tersebut, terkadang beberapa temannya juga ikut bersamanya dengan alasan tentu saja juga mencari emas disana. Emas yang mereka dapat bisa mereka jual. Uangnya tentu mereka pergunakan untuk membeli kebutuhan mereka tanpa perlu menyusahkan orang tua masing-masing.
       Aldi sesungguhnya bukanlah anak yang mempunyai orang tua tak mampu. Bahkan ia berasal dari keluarga yang berkecukupan di desa tempat tinggalnya. Namun ia ditugaskan oleh ayahnya untuk ke tambang karena ayahnya mendapat jatah untuk mengambil seember tanah yang langsung dari lubang galian tambang itu yang berkemungkinan besar didalamnya terdapat emas.
Berbeda dengan teman-temannya yang lain, mereka hanya mendapat emas dengan berebutan memasukkan “jae” mereka diantara jae-jae orang dewasa lainnya yang ikut dalam acara “manampuang” setiap sore dari sabtu sampai hari kamis. Jae adalah sebuah alat terbuat dari papan yang di bentuk menyerupai kuali tanpa telinga yang digunakan untuk mencari emas. Caranya dengan memasukkan tanah yang berasal dari tambang ataupun yang telah di tampung tadi, kemudian di gerakkan memutar sehingga tanah keluar dan yang tinggal hanyalah sesuatu berwarna hitam yang orang kampung aldi menamainya kalam. Gerakan memutar jae itulah yang biasa di sebut mandulang. Dan disitulah biasanya terdapat emas murni 24 karat yang membuat sebagian orang tegila-gila untuk mendapatkannya.
Sedangkan acara manampuang, yang sebenarnya tak layak disebut acara itu adalah kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh sebagian masyarakat kampung Aldi untuk membantu ekonomi keluarga mereka karena sebagian besar yang melaksanakan adalah para ibu-ibu, anak-anak dan remaja. Manampuang dilakukan dengan cara berdiri mengelilingi pekerja  tambang  yang akan mendulang emasnya. Serpihan tanah yang berasal dari galian itu akan jatuh pada jae-jae yang sudah menunggu di bawahnya dengan susunan yang apik.
*******
Hari kamis malam, hari yang ditunggu-tunggu Aldi dan teman-temannya. Pada hari itu mereka akan menjual jerih payah mereka dari hari sabtu. Tambang emas memang memiliki hari libur di hari jum’at. Bagi mereka haram bekerja pada hari jum’at, dan mereka hari menganggap hari jum’at adalah hari yang singkat.
“Dapat berapa Di?” Tanya Beni
“150 ribu, kamu berapa?” jawab Aldi
“Hmmm... Cuma 50 ribu, kamu Dan” Beni balik bertanya kepada Hamdan
“Sedikit lebih banyak dari kamu, 62 ribu”
“Berarti minggu ini aku yang mendapat paling sedikit, biasanya kan kamu Dan”
“Tentulah kamu yang paling sedikit, kamu kan minggu ini sering tidak pergi, memangnya kamu kemana? Sibuk ngurusin si Meri itu ya?” jawab Hamdan sekenanya.
“Dasar kamu, memangnya kamu rajin? Biasanya kamu kan yang paling pemalas kalau urusan pergi ke tambang.” Beni kesal.
“Kamu tidak tahu ya, minggu ini si Hamdan itu rajin sekali untuk pergi, bahkan lebih semangat, kamu tahu kenapa dia begitu?” Aldi ikut menyahut.
“Oh ya, aku baru ingat, kemarin di tambang aku melihat Sarah gadis yang membuat Hamdan tergila-gila itu ya” Tukas Beni dengan gembira karena berhasil membalas Hamdan.
Aldi memang selalu lebih banyak dari kedua sahabat setianya, sudah pasti karena ia langsung mendapat jatah dari dalam tambang secara utuh tanpa perlu berebutan dengan yang lainnya.
*******
       Hujan turun dengan lebatnya sore itu, mengguyur apa saja tanpa terkecuali. Itu menyebabkan kegiatan tambang dihentikan, tidak lain tidak bukan di sebabkan karena hujan yang turun terus-menerus mengakibatkan air sungai bertambah dan menutupi lubang galian tambang yang terdapat di sepanjang tepian sungai itu.
       Aldi dan teman-temannya pun libur ke tambang untuk beberapa hari ini. Karena tidak ada kegiatan, mereka memutuskan untuk berkumpul di rumah Aldi. Disana memang sudah terdapat tempat yang biasa mereka gunakan untuk membuat pr bersama, tugas kelompok bahkan terkadang hanya sekedar mengobrol ditemani secangkir teh atau kopi.
       “Hujan kali ini sangat lebat ya, lama pula” Hamdan membuka pembicaraan.
       “Benar, biasanya hanya tiga hari atau paling lama satu minggu, tapi kali ini sudah hamper satu minggu, bagaimana ya dengan nasib perekonomian keluarga penambang?” Aldi membenarkan.
       “Dasar kamu Di, sok mikir, emangnya kamu tidak tahu ya di kampung kita tidak semua orang di keluarganya yang menjadi penambang kan? Sebagian masih ada yang memiliki kebun karet” Beni menyanggah.
       “Sok tahu kamu Ben, memangnya orang bisa manen karet kalau musim hujan?”
       “Iya ya, kok aku tidak kepikiran ya?”
       “Makanya kalu mau bicara sebelum buka mulut pikir dulu, baru di keluarkan”
       “Iya, lain kali aku tidak akan mengulangnya lagi”
       “Aldi, Beni, sudah deh masalah kebun karetnya, lebih baik kita membahas masalah yang lain!”
       “Memangnya ada masalah lain apa Dan?”
       “Kalau mau tahu, besok kalau hari tidak hujan atau sehabis hujan kalian akut aku ke sungai”
       “Memangnya ada apa di sungai, apakah buaya besar mengamuk?”
       “Kalian lihat besok saja ya teman-teman, sekarang hari sudah sore, aku harus menjemput kerbau ku dulu, kamu tidak menjemput sapi-sapimu Ben?”
       “Iya Hamdan, yuk pulang bareng, pulang dulu ya Aldi, sampai bertemu besok”
       “Oke, see you tomorrow my friends” Gaya aldi yang sok ke bule-bulean membuat kedua temannya tertawa.
*******
       Malam harinya Aldi masih belum bisa tidur, penyebabnya dia memikirkan kira-kira gerangan apa yang akan di tunjukkan Hamdan kepadanya dan Beni. Dia mencoba menebak-nebak, namun sudah beberapa kali dia menebak, sudah sebanyak itu pula dia tidak yakin akan tebakannya sendiri.
       Ia heran melihat Hamdan, dia selalu saja ada kejutan buat teman-temannya. Misalnya saja saat Beni berulangtahun, Hamdan menyuruh dirinya membeli lilin, tepung dan zat pewarna makanan. Dalam benaknya Aldi mengira Hamdan akan membuat kejutan berupa kue ulang tahun. Ternyata Hamdan membuat miniatur sapi dari bahan tersebut. Aldi tidak habis pikir.
       Lelah berpikir, Aldi terlelap dengan sendirinya.
*******
       Esok harinya di jam yang telah mereka sepakati, mereka sudah berkumpul di depan rumah Aldi. Mereka sudah tidak sabar dengan kejutan apa yang akan diberikan Hamdan kali ini.
       “Ayo cepat Dan, aku sudah penasaran nih”
       “Iya Dan, tunggu apa lagi, ya kan Di?”
“Kalau begitu, ayolah kita mulai”
       Perjalanan merekapun di mulai, mereka berjalan menyusuri jalan setapak dan pematang sawah untuk sampai kesungai, lima menit perjalanan mereka. Setibanya di tepian sungai, Hamdan berdiri tegak memandangi sungai. Beni heran melihat Hamdan, namun Aldi sepertinya dapat membaca pikiran Hamdan.
       Ia tahu, pasti sahabatnya itu sedang memperhatikan sungai yang bisa disebut sudah tidak memiliki seninya untuk disebut sebuah sungai. Tempat itu lebih layak disebut sebuah tempat yang baru saja ditimpa bencana besar, seperti di situ gintung. Hujan lebat kemarin yang memang menjadi penyebab kerusakan seperti itu.
       Hujan bukanlah penyebab utamanya. Namun, penggalian tambanglah yang menyebabkan semua ini terjadi. Penggalian yang tanpa memikirkan apa akibat yang akan ditimbulkannya. Penggalian bukan hanya di sepanjang tepian sungai, sawah-sawah di tepian sungai juga ikut menjadi korban pelampiasan hawa nafsu manusia akan kekayaan alam.
       “Kau lihat itu Aldi?” pembicaraan Hamdan mengejutkan Aldi yang sedang melamun.
       “Ya, aku melihatnya, sekarang aku baru sadar, tambang tidak hanya mendapatkan kekayaan alam yang sangat berharga, tambang ternyata lebih banyak menyisakan kerusakan”
       “Coba kamu bayangkan seandainya semua wilayah ini dijadikan tambang. Sawah-sawah habis digali. Lalu apa yang dapat kita lakukan? Kamu tahu kan kalau semua sawah yang sudah digali iini tidak bisa digunakan lagi. Kalaupun di timbun, wilayah ini tidak akan produktif lagi bukan?”
       “Kamu benar Dan, saat sudah besar nanti, tentu kita tidak akan memiliki sawah lagi untuk di olah, makan apa anak cucu kita Dan?”
       “Itulah masalahnya Di, manusia memang tak pernah puas. Padahal kebun sawit dan karet yang mereka miliki sudah lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga mereka.”
       “Sudahlah, kalau kita membicarakan mereka-mereka itu, bukankah diantara mereka-mereka itu juga termasuk orang tua kita, ngomong-ngomong si Beni kenapa tuh melamun. Kelihatannya serius sekali”
       “Iya, biar aku yang ketempat si Beni” Hamdan berlalu menuju ke tempat Beni.
       Beni sedari tadi berdiri jauh dari Aldi dan Hamdan. Ia pergi ke tempat yang lebih tinggi dari tempat berdirinya Aldi dan Hamdan. Dari tempat itu Beni bisa melihat hampir seluruh wilayah lokasi tambang itu.
       “Hai kawan, sedang melamunkan apa? Serius sekali.”
       “Eh Hamdan mengagetkan aku saja, aku sedang berpikir apa jadinya sungai ini nanti. Apakah ikan-ikan didalamnya tidak mati akibat limbah tambang yang maha kotor itu?”
       “Dari tadi aku dan Aldi juga memikirkan hal yang serupa denganmu, kalau begitu kita diskusikan masalah ini di tempat biasa yuk, sepertinya hujan akan turun lagi”
       “Ayolah, woooi Aldi Ayo ke tempat kita biasa, cepaaat sebentar lagi turun hujan” Beni meneriaki Aldi untuk segera pulang.
       “Baiklah. Aldi berlari mengikuti Beni dan Hamdan.
*******
       Dalam diskusi, mereka sudah mendapatkan jalan keluar agar tambang tidak lagi merjalalela. Usaha mereka dimulai dari berbicara kepada orang tua masing-masing apa akibat yang ditimbulkan dari penambangan seperti ini. Usaha mereka tersebut gagal total. Orang tua mereka tidak menghiraukan pembicaraan mereka. Orang tua mereka hanya menyatakan tahu apalah seorang anak ingusan seperti mereka.
       Tidak puas dengan hasil yang mereka dapatkan. Mereka kembali berfikir keras untuk mencari jalan. Apa yang akan dan harus mereka lakukan. Hamdan selalu saja ada cara untuk menyelesaikan suatu masalah.
       “Mmm orang tua kita tidak mau mendengarka pebicaraan kita karena menganggap kita anak ingusan yang belum tau apa-apa. Bagaimana kalau yang menasehati mereka orang yang mereka segani, ya seperti bapak kepala kampung kita.” Hamdan memberi Ide.
       “Maksud kamu kita harus membujuk pak Karmin kepala kampung kita itu. Kamu yakin ini akan berhasil, orang tua kita sendiri saja sudah susah untuk diberi pengertian. Apalagi bapak kepala kampung itu?” Aldi pesimis terhadap pendapat Hamdan.
       “Iya Dan, kamu yakin?” Beni menambahkan.
       “Kalian ini bagaimana sih, kalah sebelum berperang. Kita semua tahu kan pak Karmin itu orang yang ramah, bijaksana pula. Ayolah sahabatku, kita harus coba dulu.”
       “Pendapatmu masuk akal juga. Kalau begitu kami akan ikut saja denganmu. Benarkan Ben?”
       “Oke
*******
Hari itu juga mereka berangkat menuju rumah Bapak Karmin. Setelah dipersilahkan, mereka kemudian menjelaskan maksud dan tujuan mereka. Setelah menyelesaikan pembicaraan mereka sore itu. Mereka pamit pulang karena akan melaksanakan kegatan sore mereka, yaitu menggiring hewan ternak mereka pulang ke kandang.
Mereka memang tidak mendapatkan jawaban dari bapak Karmin hari itu. Bapak Karmin meminta anak-anak untuk kembali esok hari. Karena beliau memutuskan untuk memikirkan permintaan anak-anak itu. Tapi Aldi, Beni dan Hamdan yakin bahwa pembicaraan mereka akan membuahkan hasil. Karena mereka tahu pak Karmin adalah orang yang bijaksana.
*******
Esok hari mereka mendapatkan jawaban yang mereka inginkan. Selang beberapa hari bapak kepala jorong mengumpulksn warganya untuk mensosialisasikan bahaya tambang bagi kehidupan. Memang mereka idak langsung menerima, namun seiring berlalunya waktu pada diskusi itu, mereka akhirnya mengerti juga.
Mereka menghasilkan sebuah keputusan yang terbaik. Semua warga memang tidak lagi diperbolehkan menambang emas dengan menggali apalagi dengan mesin-mesin yang bersuara tak karuan itu. Jika mereka mau, mereka masih bisa mencari emas dengan cara tradisional sepertidulu, dengan menyelam ke dasar sungai. Tanpa merusak lingkungan dan polusi. Tentunya dengan tidak merusak kebudayaan tradisional. Dan mesin-mesin yang ada sekarang bisa digunakan untuk menaikkan air sungai ke sawah. Karena kincir yang biasa mereka gunakan juga sudah menjadi korban penggalian tambang.
*******
Beberapa bulan setelah kegiatan tambang dihentikan. Masyarakat mulai merasakan manfaatnya. Terutama pada polusi udara, udara menjadi lebih segar. Dan tentunya mereka tahu bahwa sawah mereka yang kini mulai menguning akan tetap ada hingga hari esok.
       Pada perayaan tujuhbelasan, pak Karmin menyampaikan pidato tentang ucapan terimakasihnya kepada seluruh masyarakat yang telah mendukung kebijakannya. Tak lupa beliau memanggil anak-anak yang menurut beliau telah melaksanakan semua ini. Beliau juga memberikan kepada salah satu dari mereka untuk menyampaikan sambutan.
       Hamdan yang mewakili teman-temannya untuk memberikan sambutan tidak menyiaa-nyiakan kesempatan itu. Dalam sambutannya dia menyampaikan bahwa dalam melakukan  sesuatu seharusnya kita memikirkan apa dampak yang akan di timbulkan. Dan di akhir sambutannya dia juga mengatakan seperti ini :
       “Kepada seluruh masyarakat yang hadir saat ini, apa yang akan kalian pilih, SUNGAI atau EMAS?” Hamdan bertanya dengan semangat.
       Tanpa pikir panjang seluruh warga yang hadir meneriakkan “SUNGAAAAI.
***************************************************************

April - 2009
vaa