October 17, 2011

Agama - Hakikat Manusia Dalam Islam


HAKIKAT MANUSIA DALAM ISLAM

MAKALAH




Oleh
Kelompok III
A 2011


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2011


KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis  haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi kesempatan untuk membuat makalah yang berjudul Hakikat Manusia dalam Islam ini.
Makalah ini dibuat untuk melengkapi tugas agama Islam. Selain juga untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang hakikat manusia dalam Islam. Agar kita semua mengetahui darimana dan untuk apa kita diciptakan oleh Allah SWT.
Penulis menyadari sepenuhnya makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya masukan, kritik, dan saran dari semua pembaca demi
penyempurnaan karya tulis ilmiah berikutnya.

                                                                                    Pekanbaru, 13 Oktober 2011

                                                                                                            Penulis



i




DAFTAR ISI
Cover
Kata pengantar ....................................................................................................................   i
Daftar isi ..............................................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 2

BAB I
PENDAHULUAN

            Pengetahuan tentang hakikat manusia dalam Islam sangatlah penting, karena kita sebagai manusia hendaknya mengetahui bagaimana dan untuk apa kita diciptakan ke dunia ini.
            Untuk itu, makalah tentang hakikat manusia dalam Islam ini dibuat untuk membantu kita semua sebagai manusia mengenal, mempelajari, mengetahui dan mengamalkan ilmu-ilmu yang kita dapatkan setelah membaca dan mempelajari makalah hakikat manusia dalam Islam ini.


BAB II
PEMBAHASAN

  1. Konsep Manusia
HAKIKAT MANUSIA DALAM ISLAM
Hakikat manusia menurut Allah adalah makhluk yang dimuliakan, dibebani tugas, bebas memilih bertanggung jawab.
ü  Makhluq (yang diciptakan)
Memiliki kebutuhan sebagai mahkluk yang terbatas secara fisik dan kemampuan maka sangat mungkin manusia memiliki kebutuhan / kehendak kepada Allah (QS fathiir : 15)
ü  Mukallaf (yang mendapat beban)
Ibadah manusia secara umum diciptakan oleh Allah untuk beribadah sebagai konsekuensi dari kesempurnaan yang diperolehnya (QS Adz dzaariyat : 36)
ü  Mukhayar (bebas memilih)
Menusia diberi kebebasan memilih untuk beriman / kafir kepada Allah (QS Al-kahfi :29)
ü  Majziy (yang mendapat balasan)
Surge manusia diminta pertanggung jawabannya atas segala sesuatu yang dilaksanakannya, Allah menyediakan surge untuk mereka yang beriman dan beramal soleh yaitu mereka yang menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya (QS As sajadah :19)
                                
1.      Siapa Manusia
a.       DEFINISI MANUSIA MENURUT AL-TOUMY AL-SYAIBANI
v  Manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia dimuka bumi
v  Manusia sebagai khalifah di muka bumi
v  Insane makhluk social yang berbahasa
v  Insan mempunyai tiga dimensi yaitu : badan, akal, dan ruh
v  Insan dengan seluruh perwatakannya dan ciri pertumbuhannya adalah hasil pencapaian 2 faktor, yaitu warisan dan lingkungan
v  Manusia mempunyai perbedaan sifat antara yang satu dengan yang lainnya
v  Insan mempunyai sifat luwes, lentur, bisa dibentuk, dan bisa diubah

b.      Definisi Manusia Secara Umum
Manusia makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan mereka sebagai khalifah dimuka bumi ini.

Manusia juga didefinisikan sebagai makhluk ciptaan Allah, ia tidaklah muncul dengan sendirinya, alqur’an surat al-alaq ayat 2 menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan tuhan dari segumpal darah, at-thariq ayat 5 menjelaskan bahwa manusia dijadikan oleh Allah, Ar-rahman ayat 3 menjelaskan pula bahwa Allah yang menciptakan manusia. Masih banyak sekali ayat al-quran yang menjelaskan bahwa yang menjadikan manusia adalah tuhan. Jadi, manusia adalah mahkluk ciptaan Allah.

Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah dimuka bumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah.
Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci. Akan tetapi hampir sebagian besar para ilmuwan berpendapat membantah bahwa manusia berawal dari sebuah evolusi dari seekor binatang sejenis kera, konsep-konsep tersebut hanya berkaitan dengan bidang studi biologi. Anggapan ini tentu sangat keliru sebab teori ini ternyata lebih dari sekadar konsep biologi. Teori evolusi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia. Dalam hal ini membuat kita para manusia kehilangan harkat dan martabat kita yang diciptakan sebagai mahluk yang sempurna dan paling mulia.
Walaupun manusia berasal dari materi alam dan dari kehidupan yang terdapat di dalamnya, tetapi manusia berbeda dengan makhluk lainnya dengan perbedaan yang sangat besar karena adanya karunia Allah yang diberikan kepadanya yaitu akal dan pemahaman. Itulah sebab dari adanya penundukkan semua yang ada di alam ini untuk manusia, sebagai rahmat dan karunia dari Allah SWT. {“Allah telah menundukkan bagi kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi semuanya.”}(Q. S. Al-Jatsiyah: 13). {“Allah telah menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar. Dia juga telah menundukkan bagi kalian malam dan siang.”}(Q. S. Ibrahim: 33). {“Allah telah menundukkan bahtera bagi kalian agar dapat berlayar di lautan atas kehendak-Nya.”}(Q. S. Ibrahim: 32), dan ayat lainnya yang menjelaskan apa yang telah Allah karuniakan kepada manusia berupa nikmat akal dan pemahaman serta derivat (turunan) dari apa-apa yang telah Allah tundukkan bagi manusia itu sehingga mereka dapat memanfaatkannya sesuai dengan keinginan mereka, dengan berbagai cara yang mampu mereka lakukan. Kedudukan akal dalam Islam adalah merupakan suatu kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengannya, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun, segala yang dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati.
Dengan demikian, manusia adalah makhluk hidup. Di dalam diri manusia terdapat apa-apa yang terdapat di dalam makhluk hidup lainnya yang bersifat khsusus. Dia berkembang, bertambah besar, makan, istirahat, melahirkan dan berkembang biak, menjaga dan dapat membela dirinya, merasakan kekurangan dan membutuhkan yang lain sehingga berupaya untuk memenuhinya. Dia memiliki rasa kasih sayang dan cinta,
rasa kebapaan dan sebagai anak, sebagaimana dia memiliki rasa takut dan aman, menyukai harta, menyukai kekuasaan dan kepemilikan, rasa benci dan rasa suka, merasa senang dan sedih dan sebagainya yang berupa perasaan-perasaan yang melahirkan rasa cinta. Hal itu juga telah menciptakan dorongan dalam diri manusia untuk melakukan pemuasan rasa cintanya itu dan memenuhi kebutuhannya sebagai akibat dari adanya potensi kehidupan yang terdapat dalam dirinya. Oleh karena itu manusia senantiasa berusaha mendapatkan apa yang sesuai dengan kebutuhannya,hal ini juga dialami oleh para mahluk-mahluk hidup lainnya, hanya saja, manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya dalam hal kesempurnaan tata cara untuk memperoleh benda-benda pemuas kebutuhannya dan juga tata cara untuk memuaskan kebutuhannya tersebut. Makhluk hidup lain melakukannya hanya berdasarkan naluri yang telah Allah ciptakan untuknya sementara manusia melakukannya berdasarkan akal dan pikiran yang telah Allah karuniakan kepadanya.
Dewasa ini manusia, prosesnya dapat diamati meskipun secara bersusah payah. Berdasarkan pengamatan yang mendalam dapat diketahui bahwa manusia dilahirkan ibu dari rahimnya yang proses penciptaannya dimulai sejak pertemuan antara spermatozoa dengan ovum.
Didalam Al-Qur`an proses penciptaan manusia memang tidak dijelaskan secara rinci, akan tetapi hakikat diciptakannya manusia menurut islam yakni sebagai mahluk yang diperintahkan untuk menjaga dan mengelola bumi. Hal ini tentu harus kita kaitkan dengan konsekuensi terhadap manusia yang diberikan suatu kesempurnaan berupa akal dan pikiran yang tidak pernah di miliki oleh mahluk-mahluk hidup yang lainnya. Manusia sebagai mahluk yang telah diberikan kesempurnaan haruslah mampu menempatkan dirinya sesuai dengan hakikat diciptakannya yakni sebagai penjaga atau pengelola bumi yang dalam hal ini disebut dengan khalifah. Status manusia sebagai khalifah , dinyatakan dalam Surat All-Baqarah ayat 30. Kata khalifah berasal dari kata khalafa yakhlifu khilafatan atau khalifatan yang berarti meneruskan, sehingga kata khalifah dapat diartikan sebagai pemilih atau penerus ajaran Allah.
Namun kebanyakan umat Islam menerjemahkan dengan pemimpin atau pengganti, yang biasanya dihubungkan dengan jabatan pimpinan umat islam sesudah Nabi Muhammad saw wafat , baik pimpinan yang termasuk khulafaurrasyidin maupun di masa Muawiyah-‘Abbasiah. Akan tetapi fungsi dari khalifah itu sendiri sesuai dengan yang telah diuraikan diatas sangatlah luas, yakni selain sebagai pemimpin manusia juga berfungsi sebagai penerus ajaran agama yang telah dilakukan oleh para pendahulunya,selain itu khalifah juga merupakan pemelihara ataupun penjaga bumi ini dari kerusakan.
Dari uraian diatas dapat kita ambil bahwa manusia diciptakan atau berasal dari tanah sebagaimana yang telah dilampirkan dalam Al-Qur`an dan selain itu manusia sesuai dengan hakikatnya menurut islam adalah sebagai pengelola atau penjaga bumi,selain itu manusia juga merupakan penerus ajaran agama yang telah turun temurun dilaksanakan oleh para ulama sebelum kita.

2.      Persamaan dan Perbedaan Manusia dengan Makhluk Lain
Manusia dan makhluk lainnya itu memiliki persamaan dan juga perbedaan. Salah satunya adalah manusia dan makhluk lain memiliki tujuan yang sama dalam hal penciptaan yaitu untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan dalam hal raga dan ruh manusia memiliki perbedaan. Raga manusia termasuk ke dalam derajat terendah diantara makhluk lainnya sedangkan ruh manusia termasuk ke dalam derajat tertinggi.

Hikmah yang terkandung dalam hal ini adalah manusia mengemban beban amanat pengetahuan tentang Allah sebab tidak sesuatupun di dunia ini yang memiliki kekuatan yang mampu mengemban beban amanat ini. Manusia mempunyai kekuatan ini melalui esensi sifat-sifat ruh yang diberikan Allah. Tidak ada satupun di dunia ruh yang menyamai kekuatan ruh ini, baik itu malaikat maupun jin.

1) Quraish Shihab:Membumikan Al Quran : 28)

2) QS. Ar Rum 30


Berikut ini persamaan dan perbedaan manusia dengan makhluk lainnya :

1. Persamaan
- Semua makhluk termasuk manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.
- Tujuan penciptaannya adalah hanya untuk beribadah kepada Allah.
- Semua makhluk akan kembali kepada Allah.
- Dan tiap-tiap makhluk ada di dalam penjagaan dan pengawasan Allah.

2. Perbedaan
- Manusia memiliki hati nurani dan juga nafsu tapi makhluk lain hanya memiliki salah satunya saja.
- Derajat manusia sejati adalah lebih tinggi dari makhluk yang lain.
- Manusia tercipta dari tanah sebagai jasad dan nur sebagai hati. Sedangkan makhluk lain tidak ada yang tercipta dari tanah dan nur.
- Bentuk ibadah manusia telah diatur di dalam Al Quran.
- Manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan kehidupannya.

  1. Eksistensi dan Martabat Manusia
1.      Tujuan Penciptaan Manusia
Setiap penciptaan sesuatu, pastilah punya tujuan. Seperti sama-sama telah kita ketahui, tiada sesuatupun diciptakan-Nya tanpa tujuan (QS. 3:191). Lalu apakah tujuan penciptaan kita (manusia) di bumi ini oleh Allah Ta’ala? Hal ini sangat penting sekali kita ketahui apabila kita ingin berjalan di muka bumi ini sesuai dengan apa kehendak sang pencipta.
Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa tujuan penciptaan manusia ada 3 (tiga) yaitu:

Menjadi ABDI ALLAH (QS 51:56)
Menjadi abdi Allah secara sederhana berarti ‘hanya bersedia mengabdi kepada Allah Ta’ala’. Tidak mau mengabdi kepada selain dari Allah Ta’ala, termasuk di dalamnya mengabdi kepada hawa nafsu dan syahwat kita sendiri. Melepaskan diri dari perbudakan hawa nafsu dan syahwat merupakan bagian dari tahapan pertaubatan yang harus dilakukan.
Contohnya seperti makna tersirat dari kisah Nabi Musa, ketika Musa A.S membebaskan Bani Israil (juga bermakna batin nafs muthmainnah) dari perbudakaan Fir’aun (makna batin: hawa nafsu dan syahwat), menuju tanah suci yang dijanjikan (makna batin: qalbun salim).
Menjadi SAKSI ALLAH (QS 7:172)
Sebelum lahir ke dunia ini nafs manusia berjanji (saksi; asyhadu, syahid, syuhada) kepada Allah Ta’ala di alam Alastu, mempersaksikan bahwa hanya Allah-lah Rabb-nya (Q.S. 7:172). Yang demikian dilakukan agar mereka tidak ingkar di hari akhir nanti.
Pada saat ini pula Allah Ta’ala telah menentukan kepadanya empat perkara , yaitu: (1) Ajal, (2) Rezeki, (3) Amal, serta (4) Keberuntungan dan Musibah (Hadits riwayat Muslim). Dari hadits ini, berbeda dengan anggapan umum, kita lihat bahwa jodoh tidak masuk ke dalam yang ditentukan saat itu.
Di sini pula kita sering tergelincir memaknai ’syuhada’. Kata ’syuhada’, akar katanya sama dengan kata pada syahadat kita ‘Asyhadu’, artinya bersaksi, mempersaksikan dengan sepenuh kepercayaan, dengan sepenuh keyakinan (mengenai Tuhannya). Kata ’syuhada’ tidak semata-mata berarti orang yang mati di medan perang. Kata ’syuhada’ berarti ‘orang yang telah mempersaksikan’.
Di zaman Rasulullah, mereka yang gugur ketika berniat mengorbankan jiwa mereka untuk Allah melalui jalan yang tersedia dan dibutuhkan ummat pada masa itu (berperang), yang pengorbanannya diterima oleh Allah, dianugerahi sebuah ‘penyaksian (akan kebenaran)’ melalui gugurnya mereka di medan perang. Maka, belum tentu setiap orang yang gugur di medan perang adalah ’syuhada’. Juga hal ini berimplikasi bahwa banyak cara lain menjadi seorang ’syuhada’ selain melalui peperangan.
Menjadi KHALIFAH ALLAH (QS 2:30)
Khalifah Allah sebenarnya adalah perwakilan Allah untuk memakmurkan bumi. Banyak yang salah mengira bahwa menjadi khalifah berarti ‘menguasai’. Adam A.S bukanlah manusia pertama, tetapi ia adalah khalifah pertama. Sebelumnya terdapat manusia-manusia yang tidak bertugas sebagai khalifah, seperti Pitecanthropus, Meganthropus, Paleo Javanicus, dsb. Lihatlah penggunaan kata: ‘Khalifah’ bukan ‘Insan’ di ayat tersebut.
Untuk bertugas sebagai khalifah, bukan berarti harus selalu dibentuknya sebuah sistem pemerintah berlabelkan Islam. Sebenarnya tiap individu dapat berperan sebagai khalifah Allah di muka bumi ini secara individual, karena sesungguhnya seorang manusia baru berfungsi sebagai khalifah, adalah ketika ia berkarya di bumi ini berdasarkan misi untuk berbuat yang Allah telah tentukan kepadanya di alam Alastu.
Masing-masing orang punya “Misi Suci” yang berbeda-beda, yang telah Allah tugaskan kepadanya. Berdasarkan misi suci inilah “untuk apa” seseorang diciptakan dan “menurut apa dimudahkan kepadanya”.
Dalam hadits Rasulullah SAW disebutkan:
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, sudahkah dikenal para penduduk neraka dan penduduk surga?” Jawab Rasulullah: “Sudah.” Lalu ia kembali bertanya: “Kalau begitu untuk apa manusia beramal ?” Rasulullah SAW menjawab: “Mereka beramal untuk apa dia diciptakan dan menurut apa yang dimudahkan kepadanya”. (Hadits Riwayat Bukhari).
Kebanyakan manusia tidak mengetahui untuk apa dia dicipta di dunia ini. Sehingga -masuk akal- apabila ia tidak dapat menjadi wakil serta penjelmaan citra Allah di muka bumi sebagai khalifah (pemakmur bumi).
Ketika seorang berkarya di bumi ini sesuai dengan Misi Hidup nya, maka secara langsung ia telah berkarya sesuai dengan apa yang Allah kehendaki padanya. Maka secara langsung pula ia telah menjadi Abdi Allah (QS 51:56) secara hakiki.

2.      Fungsi dan Peranan yang diberikan Allah pada Manusia
  1. Tanggung Jawab Manusia sebagai Hamba dan Khalifah Allah
1.      Tanggung Jawab Manusia sebagai Hamba Allah
Sebagai hamba Allah maka manusia harus menuruti kemauan Allah, yang tidak boleh membangkang pada-Nya. Jika kita membangkang maka kita akan terkena konsekwensi yang sangat berat. Kita adalah budak Allah, karenanya setiap perilaku kita harus direstui oleh-Nya, harus menyenangkan-Nya, harus mengagungkan-Nya. Kita ini memang budak dihadapan Allah, namun dengan inilah kita menjadi mulia, kita menjadi mempunyai harga diri, kita menjadi mempunyai jiwa, kita menjadi mempunyai hati, kita menjadi mempunyai harapan cerah yang akan diberikan Tuhan kita, karena ketaatan kita itu. Dengan kedudukan ini, maka Manusia mempunyai dua tugas, pertama, ia harus beribadah kepada Allah baik dalam pengertian sempit maupun luas. Beribadah dalam arti sempit artinya mengerjakan Ibadah secara ritual saja, seperti, Sholat, puasa, haji, dan sebagainya. Sedangkan ibadah dalam arti luas adalah melaksanakan semua aktifitas baik dalam hubungan dengan secara vertikal kepada Allah SWT maupun bermuamalah dengan sesama manusia untuk memperoleh keridoan Allah sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT dan Hadist. Dan tentunya dari makna  ibadah dalam arti luas ini akan terpancarkan pribadi seorang muslim sejati dimana seorang muslim yang mengerjakan kelima rukun Islam maka akan bisa memberikan warna yang baik dalam bermuamalah dengan sesama manusia dan banyak memberikan manfaat selama bermuamalah itu. Disamping itu segala aktifitas yang kita lakukan baik itu aktifitas ibadah maupun aktifitas keseharian kita dimanapun berada di rumah, di kampus di jalan dan dimanapun haruslah hanya dengan niat yang baik dan lillahi ta'ala, tanpa ada motivasi lain selain ALLAH, sebagai misal beribadah dan bersedekah hanya ingin dipuji oleh orang dengan sebutan “alim dan dermawan”; ingin mendapatkan pujian dari orang lain; ingin mendapatkan kemudahan dan fasilitas dari atasan selama bekerja dan studi dengan menghalalkan segala cara dan lain sebagainya. Sekali lagi jika segala aktifitas bedasarkan niatnya karena Allah, dan dilakukan dengan peraturan yang Allah turunkan maka hal ini disebut sebagai ibadah yang sesungguhnya. Di dalam Adz Dzariyat 56: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." Kita beribadah kepada Allah bukan berarti Allah butuh kepada kita, Allah sama sekali tidak membutuhkan kita. Bagi Allah walaupun  semua orang di dunia ini menyembah-Nya, melakukan sujud pada-Nya, taat pada-Nya, tidaklah hal tersebut semakin menyebabkan meningkatnya kekuasaan Allah. Demikian juga sebaliknya jika semua orang menentang Allah, maka hal ini tak akan mengurangi sedikitpun kekuasaan Allah. Jadi sebenarnya yang membutuhkan Allah ini adalah kita, yang tergantung kepada Allah ini adalah kita, yang seharusnya mengemis minta belas kasihan Allah ini adalah kita. Yang seharusnya menjadi hamba yang baik ini adalah kita. Allah memerintahkan supaya kita beribadah ini sebenarnya adalah untuk kepentingan kita sendiri, sebagai tanda terimakasih kepada-Nya, atas nikmat yang diberikan-Nya, agar kita menjadi orang yang bertaqwa, Allah SWT berfirman: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” [2 : 21] Dan satu hal penting yang harus dicatat adalah bahwa beribadah hanyalah kepada Allah saja, menggantungkan hidup ini hanyalah kepada-Nya saja. Dunia ini adalah instrumen semata, yang akan berperan sebagai bahan ujian dari-Nya.

2.      Tanggung Jawab Manusia sebagai Khalifah Allah
Tugas kedua manusia adalah sebagai Kalifatullahi, kalifah Allah. Segala sesuatu yang ada di dunia ini telah ditaklukkan Allah bagi manusia, Hewan, tumbuhan, binatang, bumi dengan segala apa yang terpendam di dalamnya. Allah memberikan gambaran tentang diberikannya tugas khalifah ketika berdialog dengan malaikat, dalam Q.S 2:30: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.' Mereka berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan [khalifah] di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan berfirman: 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.' Jika tugas manusia adalah sebagai seorang pemimpin, tentu ia harus dapat membangun dunia ini dengan sinergis, dapat melakukan perbaikan-perbaikan, baik antara dirinya dengan alam, maupun antar sesama itu sendiri.
Tanpa kepekaan dan pengasahan diri sejak awal serta menggali pengalaman sebagai seorang pemimpin yang sesugguhnya maka akan sangat jauhlah diri kita dengan sebutan “Kalifah di muka bumi”, ini seperti halnya “sipunguk merindukan bulan”, tanpa berbuat sesuatu namun mengharapkan sesuatu yang besar. Seorang pemimpin dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya, kemampuan untuk mengolah dan mengeksplorasi alam, maka sebenarnya ia tak boleh semena-mena terhadap.
Akan tetapi jika fungsi kekalifahan di bumi yang diberikan Allah dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka begitu besar keberuntungan yang akan diperolehnya, sebagaimana yang dilakukan nabi Saleh kepada umatnya "Dan kepada Tsamud [Kami utus] saudara mereka Shaleh. Shaeh berkata: 'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi [tanah] dan menjadikan kamu pemakmurnya , karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat [rahmat-Nya] lagi memperkenankan [do'a hamba-Nya].' [11:61] Maka hendaknya kita berhati-hati, akan amanah yang telah diberikan Allah kepada kita, karena sebenarnya setiap kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya masing-masing di sisi Allah 
Pedoman Dan Bekal Manusia.
Untuk pedoman hidup manusia Allah SWT menurunkan Al Qur'an agar supaya manusia bisa mengemban amanah yang diberikan oleh Allah SWT, disamping itu juga kita juga wajib untuk melaksanakan pedoman hidup dan cara beribadah dan bermuamalah berdasarkan Sunnah Rasullullah SAW, serta ijtihad para ulama dan tabiin yang berdasarkan pada Al Quran dan Al Hadist. Bekal manusia yang dapat digunakan untuk memahami ayat-ayatNya. Allah menganugerahkan mata, telinga, akal dan hati. Dan nantinya mata, telinga, dan hati akan dimintai pertanggung jawaban Allah. Untuk apa selama ini digunakan. Inna sam'a wal abshoro wal fu'ada kullu ulaaaika 'anhu mas'uula, (sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, tiap-tiap dari mereka akan dimintai pertangunggjawabannya).
Allah telah memberikan banyak hal kepada kita, pedoman yang berupa Al Quran, demikian pula Allah telah memberikan bagi kita bekal berupa mata, telinga, dan hati yang bisa digunakan untuk mencerna ayat-ayat Allah dan petunjuk Rasulullah SAW. Karenanya sangatlah adil jika kemudian Allah menuntut tanggungjawab kita sebagai manusia. Selama di dunia ini, apa saja yang telah kita lakukan. Al Qur'an yang kita punya, kita gunakan untuk apa saja, apakah memang telah kita gunakan sebagai pedoman dalam keseluruhan aspek kehidupan, ataukah kita abaikan begitu saja. Demikian pula petunjuk yang diberikan Rasul, apakah kita taati, ataukah selama ini kita hanya menggunakan Sunnah Nabi dan al Qur'an sebagai pembenar-pembenar saja dari apa yang ada pada pikiran kita. Karenanya Allah menegaskan, bahwa pertanggungjawaban manusia itu akan diminta. Akan tetapi manusia banyak yang mengira bahwa hidup ini dibiarkan begitu saja, atau barangkali ia tahu akan tetapi tidak menyadarinya, karena tertutupi penglihatannya dengan fatamorgana dunia. Karenanya tidaklah salah jika Allah dengan pertanyaan retorisnya mengatakan : 'Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja [tanpa pertanggung jawaban]?' [75:36].
'Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.' [15:92-93]. Dan ayat yang lain: 'Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,' [74:38].
Dalam surat Al zalzalah yang menceritakan hari kiamat Allah memberikan gambaran bahwa di hari itu, manusia akan keluar dari kuburnya dalam berbagai macam keadaan sesuai dengan amalan yang telah mereka kerjakan, "Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka [balasan] pekerjaan mereka" [99:6]. ''Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat biji zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat biji zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya pula.'' (99:7-8)
Dari ayat di atas dapat kita ambil hikmah bahwa betapa Allah SWT telah mengajarkan kepada manusia agar bersikap peka, meski terhadap hal yang teramat kecil sekalipun. Memang, sesungguhnya Islam sangat menekankan agar kita memperhatikan hal-hal kecil bahkan detail dalam hidup kita. Saudaraku, kepekaan memang sudah selayaknya terasah dalam setiap gerak langkah hidup kita. Nah, jika demikian menanamkan semangat bahwa sesuatu yang kita lakukan selalu saja ada pertanggungjawabannya, dan setiap lintasan pikiran yang ada di hati kita juga diketahui oleh Allah SWT, maka barangkali harus selalu kita camkan, agar kita berhati - hati dalam berbuat dan bertingkah laku serta kita luruskan segala niat kita untuk menggapai Ridho Allah SWT semata.. Dan dihari kiamat itu Allah akan memasang timbangan yang akan menimbang amal dan dosa manusia dengan seadil-adilnya, tanpa kezaliman sedikitpun. Meski sedikit sebuah amal, maka ia akan tertimbang juga, demikian pula meski sedikit dosa yang terpercik akan ada nilai yang diperhitungkan pula. Tak kan ada yang dirugikan dalam penimbangan itu. Semuanya tergantung dari manusia,dan semuanya tergantung pada sikap kita selama di dunia. "Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika [amalan itu] hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan [pahala]nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan."
Ketika manusia disidang di akhirat kelak, tak kan dapatlah ia mengelak, sebagaimana persidangan-persidangan yang ada di dunia. Jika persidangan yang ada di dunia amat ditentukan oleh saksi yang terkadang sulit didapatkannya, kredibilitas kejujuran seorang hakim, dll, akan tetapi di akhirat yang menjadi saksi adalah anggota tubuh manusia itu sendiri. Jadi tak akan ada lagi alasan, ketika tangan, kaki, mata, telinga dan semua anggota badannya menjadi saksi dan membeberkan setiap perbuatannya selama di dunia. Jadi jika demikian, artinya tak akan ada lagi bagi kita tempat berlari kecuali kembali kepada Allah dengan terus meningkatkan maraqabatullah, perasaan untuk selalu diawasi Allah.



0 komentar:

Post a Comment